Sabtu, 26 September 2009

Cerpen NYEKAR ( dikutip : dari harian Kompas )

Minggu, 27 September 2009 | 02:56 WIB

Hamsad Rangkuti

Pagi itu aku keluar dari kamar hotel. Aku menguap. Aku masih setengah mengantuk. Aku jalan pagi di kota kecil itu. Kutemukan sebuah tata kota lama khas Jawa, sebuah alun-alun di depan tempat kediaman resmi bupati, masjid tua di baratnya dalam cahaya redup sisa lampu, gereja tua di timurnya hampir tertutup rimbun pohon. Semua merupakan lambang raja-raja zaman dulu, kantor pemerintah daerah di selatannya merupakan lambang kompeni yang sekarang digantikan orang-orang yang pernah dijajahnya. Kurasa bangunan tua di pojok itu peninggalan Belanda dijadikan gardu listrik masih bangunan asli tulisan huruf Jawa masih tergurat di dindingnya. Aku menguap lagi. Aku masih setengah mengantuk. Mana rumah Jenderal Ahmad Yani, lalu rumah Jenderal Oerip Soemohardjo teman seperjuangan Jenderal Soedirman, yang mana rumah mereka? Untuk apa, hanya untuk tahu dan melihat saja, tak ada yang bisa kutanya. Tak seorang tampak menyertai jalan pagiku, kecuali kicau burung beterbangan di antara ranting pohon di sepanjang jalan. Aku masuk ke dalam berjalan di atas rumput. Basah embun kurasakan di telapak kaki.

Pagar beton mengelilingi dua batang pohon beringin di bagian tengah lapangan luas itu. Kudapatkan celah dari jeruji besi di atas bangunan tembok beton pagar, kuintip ke dalam ke batang pohon beringin, ada dua pancang tulisan nama pohon, Ki Soeryo Putro batang pohon di sebelahnya Ki Dewo Atmodjo. Kau harus masuk ke dalam kalau kau mau melihat namanya. Kalau kau melihat dari trotoar saja, kau hanya melihat rimbun pohon dan untaian akar udaranya seperti janggut kakek tua.

Teruslah jalan ke barat, keluar dari alun-alun itu, menyeberang jalan. Masuklah ke pintu gerbang Masjid Agung Darul Muttaqin di dalamnya kau akan temukan Beduk Pendowo terbesar di dunia sebagai tanda waktu sholat. Dibuat lebih kurang tahun 1762 Jawa atau tahun 1834 Masehi, panjang rata-rata 292 cm, bergaris tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, jumlah paku depan 120 buah, jumlah paku belakang 98 buah. Bahan pohon jati bercabang lima pendowo didatangkan dari Dukuh Pendowo Desa Bragolan Purwodadi. Beduk terbesar di dunia itu sebagai peninggalan budaya yang harus dijaga dan dirawat, kegunaannya dibunyikan setiap hari Jumat dan hari-hari besar.

”“Terima kasih penjelasannya.”

”Ayo shalat subuh.”

”Ayo.”

Kubeli lima ikat rambutan. Kulepas dari ikatannya kuurai dan kubungkus dalam alas taplak meja rumah kosku. Rambutan dalam bungkusan taplak meja itu kutinting ke rumah Nur.

”Pi ada tamu,” kata Nur.

Adik–adik dan kakaknya muncul dan mengambil bungkusan yang kubawa.

”Apa yang dia bawa?” kata papinya keluar muncul ke ruang tamu. Badannya tegap seperti pegulat.

Kakak Nur yang gendut meletakkan bungkusan kain taplak meja itu di atas meja ruang tamu. Rambutan beserta daunnya berserak di atas meja.

”O, baru dipetik.” Diambilnya sebuah dikupasnya dan dimakannya. ”Lekang ya. Ada kebun rambutanmu?”

”Iya dong. Anak Medan kalau merantau selalu berhasil,” kata istrinya.

”Dia anak Medan. Di mana dia tinggal?”

”Di daerah cagar budaya, Condet.”

”Luas kebunmu?”

”Tak seberapa. Cuma beberapa pohon.”

”Bikinkan dia kopi.”

”Jadi Papi nonton Wayang Wong Sriwedari dari Solo itu?”

”Jadi, terima kasih tiket yang kau berikan itu. Untung tidak hujan. Cerita klasik dibawakan mereka, bulan muncul di atas panggung. Seakan bulan itu bagian suasana cerita. Betul-betul nikmat menonton di teater terbuka di Taman Ismail Marzuki itu. Kadang-kadang ibumu tertawa Nur, kelelawar masuk ke dalam panggung. Kalau ada lagi boleh itu.”

Nur masuk ke dalam dan keluar membawa dua gelas kopi di atas nampan. Diletakkan satu gelas di depanku. Satu gelas yang lain diletakkan di meja dekat jendela. Kemudian dia masuk.

”Minumlah anak Medan.”

Nur keluar.

”Pi kami boleh pergi malam ini?”

”Ke mana kalian mau pergi?”

”Jalan-jalan dong, kan malam minggu,” kata ibunya.

”Ke mana kalian mau jalan-jalan?”

”Ke Monas. Mau lihat Oma Irama,” kata Nur.

”Bawa adikmu. Jangan malam-malam ya pulangnya.”

”Ya Pi,” kata Nur menyalam dan mencium belakang telapak tangan ayahnya.

“Kalau pulang bawa makanan kesenangan Papi, kerak telor.”

”Itu terus makanan yang Papi pesan,” kata ibu Nur.

”Di mana kita tinggal kita harus larut dengan budaya mereka.”

Kupanggil becak. Kami naik becak di Jalan Thamrin. Adiknya kami dudukkan di tengah-tengah setelah jok tempat duduk kutarik ke depan. Adiknya duduk di antara kami. Kepala Nur kubalikkan sehingga mukanya mengarah kepadaku. Kucuri bibirnya dengan bibirku.

”Ah…” katanya menyembunyikan wajahnya sambil menunjuk kepala adiknya.

Tiga bulan kemudian kami menikah dan ketika anak kami yang pertama lahir, papinya masuk rumah sakit. Lama dia dirawat.

Kami datang menjenguk. Didekapnya cucu pertamanya dari kami.

”Cucuku yang pertama, siapa namamu?”

”Masak Mbah lupa. Yang memberi nama, kan kamu,” kata istrinya.

”Oiya. Sudah ya... Mbah tidak kuat menggendongmu.”

Nur mengambil anaknya dari pangkuan ayahnya.

Kata dokter beberapa hari lagi dia sudah boleh pulang, dia sudah boleh rawat jalan. Tiga hari lagi sebenarnya dia sudah boleh pulang. Kami senang mendengarnya. Tapi ayahnya dari kampung datang menjenguk, dia berteriak seperti menemukan masa lalunya. Dia bicara dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti. Tapi akhirnya aku bisa berkesimpulan, dia minta pulang. Kulihat tangannya seperti memegang kayu pemukul. Mengayun-ayunkan ke depan.

”Aku ingin memukul beduk.” Dia berdiri dari tempat tidur. Dia cabut jarum infus dan dia terus meminta pulang ke kampungnya.

Sore itu aku disuruh membeli beberapa tiket kereta api Senja Utama di Gambir. Dia dipapah ayahnya keluar sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah sakit. Di jendela kereta senja utama itu dia tak membalas lambaian tangan kami. Rombongan itu berangkat ke tempat dia dilahirkan. Kabar yang kami terima dia tiga kali pingsan di kereta. Di stasiun Kutoarjo, kereta Senja Utama itu menurunkan mereka dan pindah naik delman ke Purworejo. Sampai di alun-alun dia minta berhenti dan turun dari kereta kuda itu melepas sepatunya dibimbing ayahnya jalan di tengah lapangan luas itu. Sepatu yang dilepas itu dijinjing istrinya turun dari kereta kuda berlari kecil mengejar langkah suaminya di rumput basah embun pagi. Mereka mengikutinya sampai ke pohon beringin kembar itu, kemudian mereka keluar dari alun-alun dan menyeberang jalan, masuk ke halaman masjid. Entah pertimbangan apa penjaga masjid membimbingnya ke bawah beduk terbesar di dunia itu dan menyerahkan pemukul beduk. Dia memukulnya seperti yang diinginkannya. Hanya beberapa pukulan saja yang dapat dia lakukan. Ayahnya membujuknya kembali ke delman membawanya ke kampung halamannya, Desa Seren. Hanya tiga hari dia nikmati halaman rumah masa lalunya, kemudian wafat.

Telepon sakuku berdering menerima pesan.

”Ayah di mana? Ibu sudah mau keluar dari hotel, mau beli kembang,” kata Nur.

”Oke aku pulang. Baru jalan pagi di alun-alun.”

”Kok curang nggak ngajak-ngajak.”

”Sudahlah, nanti kita bicara di hotel.”

Aku masuk ke kamar mandi hotel. Bergegas keluar hotel. Kami panggil becak. Kutarik jok tempat duduknya.

”Untuk siapa?”

”Ibu.”

”Dua becak Mas.”

”Mengapa dua?”

”Aku ingin duduk lapang di becak bersamamu.”

”Kita cari sarapan pagi dulu, Mas.”

Kami dibawa berputar-putar mencari makanan yang khas kota kecil ini. Dibawanya kami ke warung dekat tepi sungai. Kupesan kopi panas. Pelayan warung itu menyuguhkan tiga piring suguhan makanan ringan, satu piring Clorot yang dibuat dari jalinan janur, anyaman daun kelapa muda, membentuk bungkus makanan itu seperti terompet. Kubuka lilitan janur itu yang lama-kelamaan terjurai seperti pita memunculkan isinya yang dibuat dari tepung ketan dicampur gula merah lembek kenyal-kenyal seperti jenang. Tapi Nur memanggil pelayan warung tepi sungai itu, dia tidak mau tangannya dikotori daun kelapa muda yang melilitnya dia minta dibukakan dari anyaman daun janur pembungkusnya. Pelayan warung itu meletakkan piring kosong di depan meja tempat duduk Nur. Memencet ujung anyaman seperti kerucut itu dan pelan-pelan isinya muncul dari bulatan bungkus depan. Pelayan warung itu jadi tahu kalau kami tidak pernah makan makanan itu. Kopi panas menyertai Clorot yang mereka suguhkan.

Diparutnya kelapa, ditaburkannya ke atas makanan berbentuk gelang yang baru disenduk dari kukusan anyaman bambu. Dihidangkan di depan kami. Gebleg itu dibuat dari tepung ketela berbentuk gelang yang satu sama lain bersambung seperti rantai ditabur kelapa parut bercampur gula.

”Bawa makanan ini untuk oleh-oleh,” kataku karena sedap. Krimpying bahan tepung ketela berbentuk gelang digoreng kering keras tapi renyah itu dibungkusnya dalam kantong plastik. ”Enak, buatan sendiri?”

”Tidak, buatan penduduk Bruno, kami tidak tahu ada campuran khusus, pembeli-pembeli kami sangat menyukainya, rasanya paling khas kata mereka, kami tidak tahu apa itu khas?”

”Ayo kita ke pasar,” kata ibu Nur, ”kami mau beli kembang, untuk nyekar.”

Kami tinggalkan warung di tepi sungai itu. Becak membawa kami ke pasar. Ibunya Nur membeli dua keranjang bunga rampai dan kami terus ke makam.

Di pemakaman itu kami sulit mencari dua makam ayah dan anaknya, suami dan mertuanya. Kucabut rimbunan semak menyiangi makam. Akhirnya kutemukan makam yang kami cari, R. Soedjatmiko, wafat 31 Agustus 1973. Kutabur bunga rampai. Kusentuh nisan yang bertulis namanya dan kupegang erat pusaranya.

”Maafkan aku Papi… Kutanggalkan ikatan lima ikat rambutan itu, kucampur dengan daun segarnya, kubungkus dengan taplak meja rumah tempat aku kos. Aku tak punya kebun dan pohon rembutan Papi... Maafkan aku membohongimu,” bisikku pelan supaya tidak didengar yang lain.

Wangi bunga rampai semerbak diterbangkan angin mengiring kami keluar dari pemakaman itu meninggalkannya…***

Minggu, 26 Juli 2009

Kenangan Masa Kecil Di Bakungan, Jenar Wetan

Oleh : R. Bambang Purnomo
Pengantar : Dusun Bakungan, Jenar Wetan terletak kurang lebih 12 km dari kota Purworejo kearah Yogyakarta. Persisinya disebelah Barat S.Bogowonto, dipinggir jalan raya Purworejo-Yogyakarta. Batas sebelah Selatan adalah rel kereta api Kutoarjo ke Yogyakarta. Dibenak seorang bocah seusia 5-6 th, yang pernah tinggal di dusun tersebut sekitar tahun 1946-1950, terekam banyak kenangan manis tentang keluarga dan sanak family, hijaunya dedaunan, padi menguning di sawah, jernihnya sungai, dll. Walaupun tidak utuh, kenangan itu dicoba dituangkan penulis, si “bocah” yang sekarang sudah berumur “double six” menyadang S2 ( Sampun Sepuh ) tapi belum S3 ( Sampun Sepuh Sanget ) dengan bahasa seadanya berupa catatan yang diingat.

Alkisah tahun 1945, Jepang menyerah ditangan sekutu, bung Karno dan bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Rakyat Indonesia menyambut dengan penuh semangat dan suka cita. Merdeka ! Merdeka! Merdeka ! semua rakyat diseluruh pelosok Nusantara meneriakan kata merdeka !! kata keramat yang mendidihkan darah dan mampu membuat semangat anak bangsa seia sekata untuk mempertahankan kemerdekaan yang diperjuangkan sejak lama. Pemerintah kolonial Belanda gusar. Berusaha untuk kembali bercokol di tanah jajahannyanya . Dengan dalih melucuti tentara Jepang dibantu tentara sekutu NICA dengan tentara sewaanya Gurkha melakukan invasi ke Indonesia. Rakyat Indonesia marah, terjadi pelawanan di mana-mana a.l. di Krawang - Bekasi, Bandung dan di Surabaya. “ Tentara gurkha orangnya tinggi hitam dan pakai ubel-ubel dikepalanya “ tutur ibunda kepada penulis. Kala itu orang tua penulis tinggal di “Mister Cornelis” sekarang Jatinegra, tepatnya kampoeng Kebon Nanas di Jl. Otista Raya dekat GOR Jakarta Timur dan PFN sekarang.
Kedatangan tentara Belanda beraorama perang membuat Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia yang baru berdiri tidak menentu kemudian diputuskan ibukota Negara di pindahkan ke Yogyakarta. Bung Karno dan keluarganya mengungsi ke Yogyakarta.
Demikian halnya rakyat dan para pejoang yang tidak mau dijajah kembali oleh belanda banyak yang meninggalkankan Jakarta, mengungsi. Tidak ketinggalan orang tua penulis juga mengungsi ke Yogyakarta. Di Yogyakarta tinggal sementara di tempat “eyang” R. Tjokrojoyo di Notoprajan. Beliau seorang wartawan senior di Harian Kedaulatan Rakyat di zamannya.
Di Yogyakarta lahir adik saya R. Pudji Rahardjo (alm) di PKO “Moehammadiyah”. Menurut ibunda, saya saat itu berumur 3 th. Tinggal di Yogyakarta tidak begitu lama, orang tua kemudian memutuskan kembali ke kampoeng halaman di Bakungan, Jenar Wetan Purworejo.


View Larger Map
Dusun Bakungan ..............
Udara sejuk meyelimuti pagi hari, sinar mentari menembus disela-sela daun pepohonan yang masing rindang, kicauan burung terdengar bersaut-sautan. Penduduk Bakungan mulai menggeliat, ada yang bersiap ke ladang atau ke sawah. Sebagian ke pasar berjualan hasil kebonnya. Desa Bakungan dilintasi jalan desa yang strategis, jalan ini keselatan menuju pasar Jenar dan ke utara bisa tembus desa Ketangi. Namun jalan ini hanya bisa dilewati sepeda atau orang jalan kaki. Sedangkan untuk “dokar” atau kendaraan roda empat harus memutar lewat Pendowo bila ingin ke Pasar Jenar. Di Bakungan orang tua penulis tinggal bersama dengan ejang R. Wiryodikromo. Rumah kediamannya di sebelah timur dusun tidak jauh dari jalan kereta. Apabila kereta lewat kedengaran suaranya. Ketepatan jadwal kereta lewat oleh penduduk didjadikan patokan waktu, jadi kalau pagi hari ada kereta lewat berarti pukul 5.30 dan seterusnya.
Seperti layaknya penduduk lainnya Eyang R.Wiryodikromo adalah seorang petani. Kebon di sekitar rumah ditanami dengan bermacam tanaman ada ketela /“pohong”, garut, irut, ganyong ada pohon kelapa, mangga dll. Ketela /”pohong” direbus dimakan dengan gula merah adalah kesukaan penulis. Hampir setiap pagi santapan itu tidak pernah ketinggalan. Makanan khas lainnya adalah “geblek”, dibuat dari tepung kanji/aci, diadoni kemudian di goreng. Rasanya legit/kenyal dan gurih.
Desa-desa sekitar Bakungan seperti Krendetan, Hargorojo, Begelen dll. dikenal sejak dulu sebagai sentra pruduksi gula merah. Tidak heran saat pasaran di pasar Krendetan, Jenar, Purwodadi ramai sekali diperdagangkan gula merah. Yang membedakan dengan gula lainnya adalah bentuknya bulat dengan diameter kurang lebih 15 cm dan ketebalannya 2,5 cm. dibungkus daun pisang kering.

Musim panen ............
Bila padi telah menguning di sawah dan musim panenpun tiba, penduduk dusun seakan bergairah. Mereka berduyun-duyun ke sawah memotong padi dengan “ani-ani” besama-sama. Walaupun mereka bukan pemilik namun ikut “nderep” (metik padi) dan upahnya berupa beberapa ikat padi. Nilai kegotong royongan masih mengental didaerah pedesan. Bagi penulis musim panen punya kenangan sendiri. Saat bunda dan kerabat serta warga lainnya “nderep” saya bersama kerabat dan teman-teman sebaya ikut mengumpulkan sisa helai padi yang tercecer, kalau sudah cukup banyak terkumpul, kemudian kita tukar dengan semangkok dawet yang dijajakan oleh penjual dawet pikulan disekitar sawah. Rasanya lezat bukan main.
Yang masih penulis ingat, suasana paguyuban waktu itu masih terasa sekali, apalagi sanak famili dari orang tua penulis banyak tinggal di Bakungan atau di desa-desa sekitarnya. Penulis kecil kalau bermain di”emong” oleh paman, bibi, dan famili lainnya yang saat itu masih remaja. Ada lapangan rumput di pinggir rel kereta api, disana mereka bermain, ada yang meggembala kerbau. Saat sore waktu yang mengasyikkan kami mandi ramai-ramai di S.Bogowonto. Airnya masih jernih. S.Bogowonto memang dimanfaatkan penduduk setempat sebagai MCK bersama.

Agresi Belanda II ..............
Kedamaian dan ketenangan penduduk ternyata tidak berlangsung lama. Belanda dalam usahanya kembali bercokol ke Indonesia mulai merambah kepedalaman. Dalam upayanya menyerbu Yogyakarta melalui Purworejo, Belanda mengerahkan tentara dan alat-alat perang mereka. Upaya ini memperoleh perlawanan dari tentara dan rakyat Indonesia. Ketika tank-tank dan panser-panser Belanda bergerak hendak melewati jembatan S.Bogowonto terhenti di dusun Bakungan. Mereka memperoleh perlawanan dari pejoang-pejoang Indonesia. Jembatan S.Bogowonto dihancurkan sehingga pergerakan Belanda terhambat. Demikian halnya jembatan kereta api sebelah timur setasiun Jenar di bumi hanguskan. Masih samar-samar dalam ingatan penulis, suatu malam diminta tidur ramai-ramai di halaman rumah. Saat itu kedengaran suara ledakan keras, tidak lama kemudian kelihatan warna merah menyala dikejauhan arah setasiun Jenar. “Jembatan kereta api diledakkan oleh tentara-tentara kita” bisik bunda. Bagi seorang bocah yang masih berumur 5 - 6 tahun belum banyak tahu apa arti perang. Dan belum mengerti pula mengapa orang laki-laki baik pemuda maupun orang tua termasuk ayah pegi meninggalkan kami anak-anak dan wanita-wanita. Dan suatu ketika penulis dengan bunda dengan menggendong adik kecil serta banyak orang lain berjalan kaki bersama-sama menyeberangi S.Bogowonto lewat jembatan kereta api ke dusun sebelah timur S.Bogowonto. “ Kita mengungsi, karena di Bakungan sudah tidak aman” kata Bunda. Entah berapa lama di pengungsian penulis tidak ingat. Yang teringat kami tidak bisa bebas bermain lagi. Paman, kerabat dan pemuda-pemuda tidak sama kelihatan. “ Mereka berjoang melawan Belanda” jelas bunda.
Waktu terus berjalan..... dan berita yang mengejutkan datang tiba-tiba. Paman Sumardiman yang bergabung dengan Tentara Pelajar meninggal di medan pertempuran. Semua bersedih,kami menangis, Indonesia menitikan air mata. Seorang pejoang telah telah gugur diharibaan tanah persada Nusantara. Bersama dengan pejoang-pejoang lain yang juga gugur rela meyerahkan jiwa raganya demi membela kemerdekaan Indonesia.
Mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan tgl. 17 Agustus 1945 ternyata memerlukan perjoangan dan pengorbanan. Segala strategi dibidang politik ternyata harus disertai dengan perlawanan senjata. Dan jerih payah, pengorbanan baik harta benda dan jiwa membuahkan hasil. Dengan bimbingan dan kuasa Allah SWT secara bertahap Belanda meninggalkan Indonesia. Di ufuk Timur fajar menyingsing dengan sinarnya yang cerah, secerah Indonesia menatap masa depannya.
Selanjutnya yang penulis ingat, kami sekeluarga pindah ke Purworejo, ayah bekerja di Zeni Bangunan Tentara. Penulis mulai masuk sekolah kelas 1 SR Ngupasan. Kegembiraan keluarga bertambah dengan lahirnya adik penulis ke dua yaitu R.Saksono pada tahun 1950.

Selasa, 07 Juli 2009

Mengenal sekilas : Paguyuban Pusara Wandawa Singodiwangsan

Pengantar
Pada saat Himpunan Pusara Wandawa yang didirikan oleh R. Soepomo Prawiro Tanoyo di Jl. Gowongan Kidul 58A Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1952 : "yang dapat diterima menjadi anggota yaitu keturunan dari almarhum R.A.A. Rogowongso ( Danoeredjo Patih Kartosuro ) ialah yang menurunkan Bupati Pertama di Purworejo, baik laki-laki maupun perempuan, keatas dan/atau kebawah yang menyatakan kesediaannya baik secara tertulis maupun dengan lisan kepada pengurus" Raden Rogowongso/Tjokrodjojo III adalah cucu dari Tjokrodjojo I/Sunan Geseng/Ki Ageng Gribig atau juga adalah cucu Gantung Siwur dari Nyai Begelen/Rara Wetan. Raden Adipati Danoeredjomengabdi menjadi Patih dari tiga orang Raja di Kartosuro berturut-turut Sunan Pakoe Boewono I, Sunan Prabu Mangkurat Agoeng dan Sunan Pakoe Boewono II, yang terakhir ini juga merupakan saudara kandung Raden Ayu Tungle. Adapun Raden Ayu Tungle/Kleting Dadu kemudian menjadi istri R. Rogowongso dan menurunkan Nyai Nosingo yang besuamikan Kyai Nosingo keturunan Prabu Browidjojo V Majapahit ; yang kemudian menurunkan dua orang putra yaitu Raden Mas Singowidjojo dan Raden Mas Singoganti, seterusnya sampai tingkat Raden Singodiwongso/Kyai Singodongso ke bawah. Tanpa mengurangi niat luhur dari pendiri Himpunan Pusara Wandawa 29 Juni 1952 untuk mengikat tali silaturakhim tersebut, kiranya akan sulit sekarang ini mewujudkan niatan tadi mengingat kerabat yang akan dihimpun sudah sedemikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan merambah sampai kemancanegara. Untuk itu kami keturunan Raden Singodiwongso/Kyai Singodongso, berusaha untuk menghimpun kekerabatan terbatas dalam lingkup keturunan Raden Singodiwongso/Kyai Singodongso kebawah dan seterusnya. Usaha inipun bukan merupakan pekerjaan mudah, karena tidak semua keturunan Raden Singodiwongso aktif mengikuti kegiatan himpunan keluarga ini. Selanjutnya setelah sekian tahun sejak berdirinya Himpunan Pusara Wandawa di Yogyakarta maka pada tanggal 29 Juni tahun 2006 di Jakarta diprakarsai bentuk suatu wadah kekerabatan dengan nama Paguyuban Pusara Wandawa Trah Raden Singodiwongso/Kyai Singodongso.
Susunan Pengurus :
Pelindung
R. Soebronto Ranoeprawiro/ A7B13

Penasehat
1. R.Sri Koentjoro Sontomardono/A3B2C12

2. H.R. Soedarmadi Prawiro Tanojo/A7B1C10

3. Drs. H.R.P. Cahyo Adi, SH,LLM/A7B11C2

Ketua

Ir.H.Hidayat Machmoed /A3B2C4D2

Wkl Ketua

Hj.R.Ngt.Soebarjati Soeprapto/A7B2C1D1

Sekretaris

Ir.Kunto Wibisono,Msc/A3B3C14D1

Bendahara
Ir.Yopi Wahyu Purnomo/A7B1C9D1

Komisariat
A1.
Subarkah/A1B4C8D2 - X
A2.
( Tidak ada keturunan )
A3.
R.Bambang Eko Haryoko Nugroho /A3B6C2D1
A4. R.Djoko Trisuri/A4B1C9D1
A5. R.Bambang Poernomo/A5B3C1D1
A6.
-
A7.
R.Siswo Sukamto, SH /A7B4C2D6
A8. R. Drs. Suroso /A8B5C2
A9.
-

Putra putri keturunan R. Singodiwongso
A 1. R.Ngt.Singosasmito
A 2. R.Ngt.Tjokrodrijo
A 3. R.Kromoprawiro
A 4. R.Soeroprawiro
A 5. R. Singodarmo
A 6. R.Ngt.Kartosonto
A 7. R.Ranoeprawiro
A 8. R.Wirjodikromo
A 9. R.Ngt.Soerowirjo

Trah R.Singodarmo A5
Sebagai pengemban amanat Komisariat A5 Paguyuban Pusara Wandawa , penulis berupaya untuk menelusur, melakukan komunikasi dan menghimpun trah/keturunan dari R.Singodarmo dimanapun berada. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan beradasarkan silsilah tertulis saja, maka sangat tidak mungkin untuk memaparkan secara lengkap data trah dari R. Singodarmo. Oleh karena itu diharapkan blog ini dapat menjadi jembatan bagi siapa saja putra putri, cucu, cicit, canggah dari R. Singodarmo untuk saling memberikan informasi keberadaannya.

Putra wayah R.Singodarmo :

1. R.Wirjodihardjo .... Ex Hoofd Laborant S.F. Djenar - wafat 22/10/1947
2. R.Kasmo Partowardojo .. Pens. Hoofdmantri teekenar Purwodadi
3. R. Bairoen Reksowardojo ... Wafat di Garut ... tahun ?
4. R. Ngt. Tjiploek - RR.Sastrodimedjo ..... Pens.Ka. Rumah Gadai Magelang
5. R.Ngt.Siti - Sastrosoedarmo ... Semarang
6. R.Soedarsono
7. R.Waroeto Hardjosoewito ........ Selecta, Batu
8. R.Ngt. Paikem - Mangoenprawiro .......... Ketanggungan Brebes.

A5 B1 R.Wirjodihardjo
C1 R. Soekarso
C2 R. Ngt. Suwarni - Tjokrosoemarto
A5 B2 R.Kasmo Partowardojo
C1 R. Soedir Darmosoebroto
C2 R. Ngt. Soemarjani - Dono Hoesodo
C3 R. Soemarjono
C4 R. Darmojo - Darmopranoto
C5 R. Darmaji Jony Poernomo
C6 R. Soenarjo
C7 R. Ngt. S.Kadarsih - R.S.Affandy
A5 B3 R. Bairoen Reksowardojo
C1 R. Ngt. Kartini - Birman Praptodirdjo ( A8B3 )
C2 R. Iskandar
A5 B4 R. Ngt. Ciploek
C1 R. Ngt. Soemirah - Djaswadi
C2 R. Ngt. Soekarti - Djagad
C3 R. Ngt. Suwarti - Dachlan
C4 R. Soemitro
C5 R. Ngt. Srijati - Moenadjat Siswo Soedjarwo
C6 R. Soewarno
C7 R. Ngt.Roesmini - Soemidjo
C8 R. Soeprapto
C9 R. Ngt. Soeprapti
C10 R.Soepratiknja'
C11 R.Ngt. Soepratiwi
A5 B5 R. Ngt. Siti
C1 R. Ngt. Boendari
C2 R. Ngt. Soemarni
C3 R. Ngt. Moekini
A5 B6 R. Soedarsono C1 R. Ngt. Siti Rohana
A5 B7 R.Waroeto Hardjosoewito
C1 R. Ngt. Siti Amina
C2 R. Ngt. Ertita
C3 R. Ngt. Ersoesila Harti
C4 R. Ngt. Setyaningsih
C5 R. Ngt. Endah Koestiani
C6 R. Rndro Soenarjono
A5 B8 R.Ngt. Paikem
C1 R. Ngt Wartini
C2 R. Warjono
C3 R. Warsono