Minggu, 26 Juli 2009

Kenangan Masa Kecil Di Bakungan, Jenar Wetan

Oleh : R. Bambang Purnomo
Pengantar : Dusun Bakungan, Jenar Wetan terletak kurang lebih 12 km dari kota Purworejo kearah Yogyakarta. Persisinya disebelah Barat S.Bogowonto, dipinggir jalan raya Purworejo-Yogyakarta. Batas sebelah Selatan adalah rel kereta api Kutoarjo ke Yogyakarta. Dibenak seorang bocah seusia 5-6 th, yang pernah tinggal di dusun tersebut sekitar tahun 1946-1950, terekam banyak kenangan manis tentang keluarga dan sanak family, hijaunya dedaunan, padi menguning di sawah, jernihnya sungai, dll. Walaupun tidak utuh, kenangan itu dicoba dituangkan penulis, si “bocah” yang sekarang sudah berumur “double six” menyadang S2 ( Sampun Sepuh ) tapi belum S3 ( Sampun Sepuh Sanget ) dengan bahasa seadanya berupa catatan yang diingat.

Alkisah tahun 1945, Jepang menyerah ditangan sekutu, bung Karno dan bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Rakyat Indonesia menyambut dengan penuh semangat dan suka cita. Merdeka ! Merdeka! Merdeka ! semua rakyat diseluruh pelosok Nusantara meneriakan kata merdeka !! kata keramat yang mendidihkan darah dan mampu membuat semangat anak bangsa seia sekata untuk mempertahankan kemerdekaan yang diperjuangkan sejak lama. Pemerintah kolonial Belanda gusar. Berusaha untuk kembali bercokol di tanah jajahannyanya . Dengan dalih melucuti tentara Jepang dibantu tentara sekutu NICA dengan tentara sewaanya Gurkha melakukan invasi ke Indonesia. Rakyat Indonesia marah, terjadi pelawanan di mana-mana a.l. di Krawang - Bekasi, Bandung dan di Surabaya. “ Tentara gurkha orangnya tinggi hitam dan pakai ubel-ubel dikepalanya “ tutur ibunda kepada penulis. Kala itu orang tua penulis tinggal di “Mister Cornelis” sekarang Jatinegra, tepatnya kampoeng Kebon Nanas di Jl. Otista Raya dekat GOR Jakarta Timur dan PFN sekarang.
Kedatangan tentara Belanda beraorama perang membuat Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia yang baru berdiri tidak menentu kemudian diputuskan ibukota Negara di pindahkan ke Yogyakarta. Bung Karno dan keluarganya mengungsi ke Yogyakarta.
Demikian halnya rakyat dan para pejoang yang tidak mau dijajah kembali oleh belanda banyak yang meninggalkankan Jakarta, mengungsi. Tidak ketinggalan orang tua penulis juga mengungsi ke Yogyakarta. Di Yogyakarta tinggal sementara di tempat “eyang” R. Tjokrojoyo di Notoprajan. Beliau seorang wartawan senior di Harian Kedaulatan Rakyat di zamannya.
Di Yogyakarta lahir adik saya R. Pudji Rahardjo (alm) di PKO “Moehammadiyah”. Menurut ibunda, saya saat itu berumur 3 th. Tinggal di Yogyakarta tidak begitu lama, orang tua kemudian memutuskan kembali ke kampoeng halaman di Bakungan, Jenar Wetan Purworejo.


View Larger Map
Dusun Bakungan ..............
Udara sejuk meyelimuti pagi hari, sinar mentari menembus disela-sela daun pepohonan yang masing rindang, kicauan burung terdengar bersaut-sautan. Penduduk Bakungan mulai menggeliat, ada yang bersiap ke ladang atau ke sawah. Sebagian ke pasar berjualan hasil kebonnya. Desa Bakungan dilintasi jalan desa yang strategis, jalan ini keselatan menuju pasar Jenar dan ke utara bisa tembus desa Ketangi. Namun jalan ini hanya bisa dilewati sepeda atau orang jalan kaki. Sedangkan untuk “dokar” atau kendaraan roda empat harus memutar lewat Pendowo bila ingin ke Pasar Jenar. Di Bakungan orang tua penulis tinggal bersama dengan ejang R. Wiryodikromo. Rumah kediamannya di sebelah timur dusun tidak jauh dari jalan kereta. Apabila kereta lewat kedengaran suaranya. Ketepatan jadwal kereta lewat oleh penduduk didjadikan patokan waktu, jadi kalau pagi hari ada kereta lewat berarti pukul 5.30 dan seterusnya.
Seperti layaknya penduduk lainnya Eyang R.Wiryodikromo adalah seorang petani. Kebon di sekitar rumah ditanami dengan bermacam tanaman ada ketela /“pohong”, garut, irut, ganyong ada pohon kelapa, mangga dll. Ketela /”pohong” direbus dimakan dengan gula merah adalah kesukaan penulis. Hampir setiap pagi santapan itu tidak pernah ketinggalan. Makanan khas lainnya adalah “geblek”, dibuat dari tepung kanji/aci, diadoni kemudian di goreng. Rasanya legit/kenyal dan gurih.
Desa-desa sekitar Bakungan seperti Krendetan, Hargorojo, Begelen dll. dikenal sejak dulu sebagai sentra pruduksi gula merah. Tidak heran saat pasaran di pasar Krendetan, Jenar, Purwodadi ramai sekali diperdagangkan gula merah. Yang membedakan dengan gula lainnya adalah bentuknya bulat dengan diameter kurang lebih 15 cm dan ketebalannya 2,5 cm. dibungkus daun pisang kering.

Musim panen ............
Bila padi telah menguning di sawah dan musim panenpun tiba, penduduk dusun seakan bergairah. Mereka berduyun-duyun ke sawah memotong padi dengan “ani-ani” besama-sama. Walaupun mereka bukan pemilik namun ikut “nderep” (metik padi) dan upahnya berupa beberapa ikat padi. Nilai kegotong royongan masih mengental didaerah pedesan. Bagi penulis musim panen punya kenangan sendiri. Saat bunda dan kerabat serta warga lainnya “nderep” saya bersama kerabat dan teman-teman sebaya ikut mengumpulkan sisa helai padi yang tercecer, kalau sudah cukup banyak terkumpul, kemudian kita tukar dengan semangkok dawet yang dijajakan oleh penjual dawet pikulan disekitar sawah. Rasanya lezat bukan main.
Yang masih penulis ingat, suasana paguyuban waktu itu masih terasa sekali, apalagi sanak famili dari orang tua penulis banyak tinggal di Bakungan atau di desa-desa sekitarnya. Penulis kecil kalau bermain di”emong” oleh paman, bibi, dan famili lainnya yang saat itu masih remaja. Ada lapangan rumput di pinggir rel kereta api, disana mereka bermain, ada yang meggembala kerbau. Saat sore waktu yang mengasyikkan kami mandi ramai-ramai di S.Bogowonto. Airnya masih jernih. S.Bogowonto memang dimanfaatkan penduduk setempat sebagai MCK bersama.

Agresi Belanda II ..............
Kedamaian dan ketenangan penduduk ternyata tidak berlangsung lama. Belanda dalam usahanya kembali bercokol ke Indonesia mulai merambah kepedalaman. Dalam upayanya menyerbu Yogyakarta melalui Purworejo, Belanda mengerahkan tentara dan alat-alat perang mereka. Upaya ini memperoleh perlawanan dari tentara dan rakyat Indonesia. Ketika tank-tank dan panser-panser Belanda bergerak hendak melewati jembatan S.Bogowonto terhenti di dusun Bakungan. Mereka memperoleh perlawanan dari pejoang-pejoang Indonesia. Jembatan S.Bogowonto dihancurkan sehingga pergerakan Belanda terhambat. Demikian halnya jembatan kereta api sebelah timur setasiun Jenar di bumi hanguskan. Masih samar-samar dalam ingatan penulis, suatu malam diminta tidur ramai-ramai di halaman rumah. Saat itu kedengaran suara ledakan keras, tidak lama kemudian kelihatan warna merah menyala dikejauhan arah setasiun Jenar. “Jembatan kereta api diledakkan oleh tentara-tentara kita” bisik bunda. Bagi seorang bocah yang masih berumur 5 - 6 tahun belum banyak tahu apa arti perang. Dan belum mengerti pula mengapa orang laki-laki baik pemuda maupun orang tua termasuk ayah pegi meninggalkan kami anak-anak dan wanita-wanita. Dan suatu ketika penulis dengan bunda dengan menggendong adik kecil serta banyak orang lain berjalan kaki bersama-sama menyeberangi S.Bogowonto lewat jembatan kereta api ke dusun sebelah timur S.Bogowonto. “ Kita mengungsi, karena di Bakungan sudah tidak aman” kata Bunda. Entah berapa lama di pengungsian penulis tidak ingat. Yang teringat kami tidak bisa bebas bermain lagi. Paman, kerabat dan pemuda-pemuda tidak sama kelihatan. “ Mereka berjoang melawan Belanda” jelas bunda.
Waktu terus berjalan..... dan berita yang mengejutkan datang tiba-tiba. Paman Sumardiman yang bergabung dengan Tentara Pelajar meninggal di medan pertempuran. Semua bersedih,kami menangis, Indonesia menitikan air mata. Seorang pejoang telah telah gugur diharibaan tanah persada Nusantara. Bersama dengan pejoang-pejoang lain yang juga gugur rela meyerahkan jiwa raganya demi membela kemerdekaan Indonesia.
Mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan tgl. 17 Agustus 1945 ternyata memerlukan perjoangan dan pengorbanan. Segala strategi dibidang politik ternyata harus disertai dengan perlawanan senjata. Dan jerih payah, pengorbanan baik harta benda dan jiwa membuahkan hasil. Dengan bimbingan dan kuasa Allah SWT secara bertahap Belanda meninggalkan Indonesia. Di ufuk Timur fajar menyingsing dengan sinarnya yang cerah, secerah Indonesia menatap masa depannya.
Selanjutnya yang penulis ingat, kami sekeluarga pindah ke Purworejo, ayah bekerja di Zeni Bangunan Tentara. Penulis mulai masuk sekolah kelas 1 SR Ngupasan. Kegembiraan keluarga bertambah dengan lahirnya adik penulis ke dua yaitu R.Saksono pada tahun 1950.

2 komentar:

  1. Wah, foto pemandangannya bgs bnget

    BalasHapus
  2. How to place a bet on a horse race on the internet
    How to Place 안산 출장안마 a Bet on a 과천 출장안마 Horse Race · 속초 출장마사지 Pick the right 문경 출장샵 selection · 문경 출장샵 Choose your horse's favorite sport · Bet wisely · Choose your bet size · Check for

    BalasHapus